Tattoo Supreme – Kanesatake, sebuah komunitas Mohawk yang terletak di Quebec, Kanada, baru saja menjadi sorotan dunia setelah sukses menggelar kembali acara tahunan penuh makna: Tattoo Gathering Tradisional. Setelah beberapa tahun vakum akibat pandemi dan pembatasan sosial, tahun ini acara tersebut kembali membara dengan semangat dan nilai budaya yang lebih kuat dari sebelumnya.
Tak hanya sekadar ajang seni tubuh, Tattoo Gathering ini menjadi potret menyala dari warisan leluhur yang hidup kembali melalui tinta, kulit, dan narasi lokal. Bahkan, arsip-arsip budaya yang selama ini nyaris terlupakan kini tampil menonjol dalam setiap ukiran tato yang dipamerkan.
Tattoo tradisional bukan hanya sekadar gaya hidup atau tren kontemporer. Bagi komunitas Mohawk dan banyak masyarakat adat lainnya di seluruh dunia, tato merupakan bagian penting dari identitas, sejarah, dan spiritualitas. Di Kanesatake, tradisi ini sempat terkikis karena kolonialisasi, konversi agama, dan pelarangan praktik adat.
Namun kini, generasi muda Mohawk mulai bangkit, menggali kembali akar budaya mereka, dan memilih tato sebagai salah satu medium untuk menyampaikan cerita, luka, harapan, dan kekuatan. Tattoo Gathering ini menjadi wadah sekaligus panggung terbuka bagi mereka yang ingin menunjukkan jati diri melalui seni tradisional.
“Kami tidak hanya menggambar di kulit. Kami menulis sejarah, kami mengingatkan dunia bahwa kami masih di sini,” ujar Tewakaronhiáhkhwa, salah satu seniman tato adat dari Kahnawake.
Uniknya, Tattoo Gathering kali ini tidak hanya menampilkan hasil karya, tapi juga mengintegrasikan dokumentasi sejarah dan riset lokal. Arsip-arsip lama—baik dalam bentuk lukisan, foto, catatan antropologis, maupun artefak kuno—diteliti ulang untuk menghidupkan kembali motif-motif tradisional yang nyaris punah.
Museum kecil di pusat komunitas Kanesatake bahkan membuka ruang khusus yang didedikasikan sebagai tattoo archive, di mana pengunjung bisa melihat jejak desain tato dari masa lalu hingga kini. Banyak seniman muda kemudian mengadaptasi elemen-elemen tersebut ke dalam gaya kontemporer tanpa menghilangkan makna spiritual dan simbolik aslinya.
Hal ini menciptakan pengalaman yang bukan hanya artistik, tetapi juga edukatif dan historis. Pengunjung diajak untuk memahami bahwa setiap titik dan garis memiliki kisah—tentang kelahiran, kematian, perlindungan, atau bahkan perlawanan terhadap penjajahan.
Tattoo Gathering di Kanesatake bukanlah festival biasa. Tidak ada nuansa komersial berlebihan atau lomba-lomba yang mengeksploitasi peserta. Semuanya dilakukan dengan rasa hormat terhadap adat dan leluhur. Upacara pembukaan diawali dengan doa dan nyanyian tradisional, serta ritual penyucian (smudging) yang dilakukan oleh tetua adat.
Sepanjang acara, sesi diskusi dan workshop digelar untuk menjembatani generasi tua dan muda. Di sinilah banyak anak muda Mohawk mengenal sejarah mereka yang tidak diajarkan di sekolah umum: tentang simbol-simbol kekuatan, garis-garis penjaga roh, hingga kisah prajurit wanita yang tertuang dalam tinta.
Tattoo tradisional, terutama dalam komunitas adat seperti Mohawk, juga menjadi simbol perlawanan. Dalam konteks sejarah kolonialisme, praktik tato sempat dianggap liar, berbahaya, bahkan setan oleh penguasa Eropa. Banyak anggota komunitas adat dipaksa meninggalkan tradisi mereka, termasuk tato.
Namun dengan bangkitnya kesadaran identitas dan dekolonialisasi budaya, tato kini menjadi pernyataan politik yang kuat. Melalui Tattoo Gathering, komunitas Kanesatake dengan tegas menyatakan: budaya mereka bukan untuk dilupakan, melainkan untuk dirayakan.
Banyak peserta yang secara sadar memilih desain tato yang melambangkan keberanian nenek moyang mereka dalam mempertahankan tanah, bahasa, dan spiritualitas. Setiap goresan menjadi bentuk perlawanan terhadap sejarah penindasan.
Tattoo Gathering Kanesatake juga menarik perhatian wisatawan dari berbagai negara. Namun, berbeda dari festival komersial lainnya, acara ini membatasi partisipasi wisatawan agar tidak mengganggu ruang sakral dan adat.
Wisatawan dipersilakan hadir sebagai pengamat, pembelajar, dan penghormatan terhadap budaya lokal. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan tato tradisional di sini—hanya mereka yang telah menjalani proses konsultasi spiritual dan memahami makna dari simbol yang akan ditorehkan.
Dengan pendekatan ini, Kanesatake berhasil menghindari eksploitasi budaya (cultural appropriation) dan justru menciptakan model wisata budaya yang etis, autentik, dan berkelanjutan.
baca juga : “Gaya Hidup Sehat Bukan Sekadar Tren, tetapi Investasi“
Tak bisa dipungkiri, Tattoo Gathering ini juga menjadi batu loncatan bagi seniman lokal untuk dikenal lebih luas. Banyak di antara mereka yang kini mendapat undangan ke festival internasional, kolaborasi dengan akademisi, bahkan kesempatan untuk mengajar di universitas seni.
Namun yang paling penting bagi mereka bukanlah ketenaran, melainkan keberlanjutan budaya. “Jika satu anak muda Mohawk merasa bangga dengan tato leluhurnya, maka seluruh upaya ini layak dilakukan,” ucap Ahshennase, seniman tato perempuan pertama di komunitas itu.
Salah satu elemen penting dari Tattoo Gathering tahun ini adalah hadirnya tim dokumentasi digital yang bekerja sama dengan arsip komunitas. Mereka merekam sesi tato, wawancara, dan kegiatan adat untuk diarsipkan secara online, sebagai sumber belajar terbuka bagi generasi masa depan.
Dengan dukungan teknologi, Kanesatake berharap bisa menginspirasi komunitas adat lainnya untuk menyelenggarakan acara serupa dan menjaga warisan budaya mereka dengan cara yang relevan di era digital.