Tattoo Supreme – Tato merupakan ekspresi seni yang personal, apalagi ketika desainnya dibuat sendiri. Namun kisah seorang aktor muda dari film She Rides Shotgun menunjukkan bahwa realita tak selalu semudah itu. Ia nyaris mendapatkan tato permanen hasil desainnya sendiri—sebuah pengalaman emosional yang akhirnya dibatalkan oleh sang ibu di detik-detik terakhir.
Film She Rides Shotgun adalah adaptasi dari novel karya Jordan Harper yang dirilis pada 2017. Film ini mendapat perhatian luas karena penggarapannya yang intens, dengan tema kriminal, keluarga, dan hubungan ayah-anak yang unik. Salah satu aktor muda dalam film ini—yang namanya mulai naik daun karena perannya yang mengesankan—belakangan menjadi bahan perbincangan bukan karena aktingnya, tetapi karena kisah pribadi yang cukup mengundang perhatian.
Aktor She Rides Shotgun muda ini (sebut saja “Eli” demi menjaga privasi) mengungkapkan dalam sebuah wawancara bahwa dirinya hampir mendapatkan tato permanen dengan desain yang ia buat sendiri. Desain tersebut bukan hanya sekadar gambar acak, melainkan memiliki makna emosional yang mendalam bagi dirinya.
Eli menyatakan bahwa desain tato tersebut terinspirasi dari perjalanan syuting film She Rides Shotgun, terutama momen-momen personal yang ia alami selama proses produksi. Ia mengatakan:
“It was a rough ride emotionally. That film changed me, and I wanted to mark that moment forever.”
Desain yang ia buat menggambarkan seekor beruang kecil—simbol dari karakter utama dalam film yang juga dijuluki “Polly Bear”. Tato itu juga akan disertai dengan koordinat lokasi syuting utama sebagai penanda tempat yang menurutnya telah “mengubah hidup.”
Namun, saat segala sesuatunya hampir siap—jadwal sudah dibuat, studio tato sudah dikonfirmasi, dan Eli sudah siap mental—keputusan terakhir datang dari ibunya.
Menjelang hari penjadwalan, sang ibu dari Eli membatalkan sesi tersebut. Bukan karena tidak menghargai ekspresi seni sang anak, tetapi karena berbagai alasan yang lebih dalam. Dalam wawancara yang sama, Eli mengungkapkan:
“My mom was okay at first. But the night before, she sat down with me and said, ‘You have so many more stories to tell. Don’t mark yourself with one just yet.’”
Alasan sang ibu cukup masuk akal, terutama mengingat usia Eli yang masih sangat muda, di bawah 18 tahun. Keputusan untuk menandai tubuh secara permanen di usia dini, meskipun dengan niat emosional dan personal, bisa berdampak dalam jangka panjang. Ibunya percaya bahwa kenangan itu bisa hidup dalam hati dan karya, bukan selalu harus dituangkan lewat tinta di kulit.
Kisah ini menjadi viral setelah dibagikan dalam sesi Q&A virtual bersama para penggemar She Rides Shotgun. Beberapa penggemar menyayangkan keputusan sang ibu karena menganggap tindakan itu menghalangi ekspresi diri. Namun, lebih banyak lagi yang justru memuji sang ibu atas keberanian mengambil keputusan sulit yang dianggap bijak.
Seorang netizen menulis:
“She’s not killing his creativity. She’s protecting his future. There’s always time for tattoos.”
Beberapa fans bahkan mengirimkan fan art berdasarkan desain tato yang dibuat Eli, membuktikan bahwa meskipun ia tak jadi mengabadikannya di kulit, desain itu tetap hidup di hati penggemar.
Menurut keterangan dari salah satu artis tato yang sempat dikontak Eli, desain tersebut sangat sederhana namun emosional. Ia menggambarkannya sebagai:
“A childlike bear with a stitched heart, sitting under a Joshua tree, with numbers marking the spot.”
Joshua tree sendiri merujuk pada lokasi di California tempat syuting berlangsung, dan memiliki lanskap yang sangat khas. Kombinasi elemen-elemen ini menggambarkan perjalanan seorang anak yang tumbuh, terluka, namun tetap kuat.
baca juga : “Membangun Bisnis Impian Panduan untuk Pengusaha Gaya Hidup“
Kasus ini juga membuka diskusi publik mengenai batasan usia dan keputusan pribadi terkait seni tubuh. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat, memiliki batas hukum minimal usia untuk membuat tato. Namun lebih dari sekadar hukum, pertanyaan yang muncul adalah: apakah seorang remaja sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan permanen?
Psikolog remaja Dr. Rachel M. Thompson menjelaskan:
“Saat usia remaja, identitas diri masih dalam proses berkembang. Tato bisa menjadi simbol kekuatan, tetapi bisa juga menjadi penyesalan jika dibuat dalam keadaan emosional.”
Keputusan ibu Eli pun dinilai mencerminkan perhatian terhadap perkembangan psikologis anak, terutama yang terlibat di industri hiburan dengan tekanan tinggi.
Yang membuat kisah ini semakin menginspirasi adalah respon Eli sendiri. Meski awalnya kecewa, ia kini mengaku justru menghargai keputusan ibunya. Dalam unggahan media sosialnya, ia menulis:
“Mungkin nanti suatu hari aku akan melakukannya, mungkin juga tidak. Tapi untuk saat ini, desain itu tetap jadi bagian dari diriku—tanpa perlu ada di kulitku.”
Sikap dewasa Eli mendapat banyak pujian dari netizen dan penggemar. Ia juga menyebut bahwa dirinya sedang dalam proses membuat seni digital dari desain tersebut, yang mungkin akan dijual sebagai merchandise terbatas untuk fans film She Rides Shotgun.
Meskipun akhirnya tato permanen itu tidak jadi dibuat, kisah ini tetap menciptakan ruang diskusi yang sehat tentang ekspresi diri, batas usia, dan makna kenangan. Bagi Eli, desain itu bukan lagi tentang tinta di kulit, tetapi tentang perjalanan emosional yang membentuk siapa dirinya hari ini.
Ibunya, yang semula dianggap “merusak momen”, justru memberi waktu bagi anaknya untuk merenungkan kembali arti dari setiap keputusan yang hendak dibuat. Tindakan ini bukan bentuk penolakan terhadap seni, tetapi bentuk cinta yang bijaksana.
Dan bagi penggemar She Rides Shotgun, kisah ini menambah dimensi baru pada pemahaman mereka tentang film, karakter, dan aktor yang terlibat di dalamnya. Karena pada akhirnya, ekspresi seni tidak harus selalu tertanam di kulit—tetapi cukup hidup di hati dan karya.